Save Palestine

header ads

Hadits Arba'in 1: Setiap Amal Tergantung Niatnya



Hadits Pertama

عَنۡ أَمِيۡرِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ أَبِيۡ حَفۡصٍ عُمَرَ بۡنِ الۡخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: سَمِعۡتُ رَسُوۡلَ اللهِ ﷺ يَقُوۡلُ: إِنَّـمَا الۡأَعۡمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّـمَا لِكُلِّ امۡرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنۡ كَانَتۡ هِجۡرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوۡلِهِ فَهِجۡرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوۡلِهِ، وَمَنۡ كَانَتۡ هِجۡرَتُهُ لِدُنۡيَا يُصِيۡبُهَا أَوِ امۡرَأَةٍ يَنۡكِحُهَا فَهِجۡرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيۡهِ . – رواه البخاري ومسلم

Dari Amirul Mukminin, Abi Hafsh Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya setiap perbuatan hanyalah tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan dunia yang ingin diraihnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

(Diriwayatkan oleh dua imam hadits: Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Al-Husain, Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam dua kitab Shahih, yang merupakan kitab hadits paling shahih yang pernah ditulis). (Shahih Al-Bukhari No. 1 dan Shahih Muslim No. 1907).

Asbabul Wurud Hadits

Hadits ini disampaikan berkenaan dengan seorang lelaki yang awalnya enggan berhijrah ke Madinah. Namun ternyata wanita yang ia sukai (Ummu Qais) ikut berhijrah ke Madinah. Maka, ia pun memutuskan untuk ikut berhijrah agar bisa menikahi Ummu Qais. Akhirnya, ia dijuluki sebagai Muhajir Ummu Qais (orang yang berhijrah untuk Ummu Qais).

Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata:

Ini adalah hadits shahih yang sangat besar kedudukannya dan banyak faedahnya. Diriwayatkan dari Imam as-Syafi’i bahwa beliau berkata bahwa hadits ini masuk ke dalam 70 bab fikih. Segolongan ulama lain berkata bahwa hadits ini senilai sepertiga Islam.

Para ulama menganjurkan agar kitab-kitab yang ditulis dimulai dengan hadits ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari.

Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Semestinya bagi setiap orang yang menulis suatu kitab, supaya mengawalinya dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu untuk membenahi niatnya.” (Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fathul Bari, 1/17).

“Sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung niatnya.”

Yang dimaksud adalah amalan-amalan ketaatan, bukan amalan mubah.

Kalimat tersebut mengandung kemungkinan makna: Sesungguhnya sahnya amal, benarnya amal, diterimanya amal atau sempurnanya amal. Inilah pendapat yang diambil oleh Abu Hanifah.

Menurut al-Harits al-Muhasibi, ikhlas itu tidak masuk ke dalam perkara mubah, karena tidak meliputi qurbah (ibadah). Misal: Meninggikan bangunan hanya sekedar untuk meninggikannya.

Syaikh As-Sa’di berkata:

Poros amal itu adalah niatnya. Hakikat ikhlas adalah meniatkan karena Allah dengan ketaatan. Sedangkan kejujuran adalah berniat karena Allah dalam beribadah disertai hati yang khusyu’.

Syaikh Al-Utsaimin berkata:

Hadits ini adalah dasar utama mengenai amalan-amalan hati, karena niat termasuk amalan hati. Setiap manusia yang berakal tidak mungkin melakukan suatu amalan tanpa niat. Sebagian ulama bahkan berkata: “Seandainya Allah memerintahkan suatu amalan kepada kita tanpa niat, niscaya itu akan menjadi tugas yang mustahil.” Manusia juga mendapat pahala atau dosa adalah tergantung dari niatnya.

“Adakalanya perkara yang mubah bisa menjadi ketaatan (ibadah) jika diniatkan untuk kebajikan.” (Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah).

Penjelasan Imam An-Nawawi tentang Niat:

  • Menurut bahasa, niat berarti al-Qashd (tujuan/maksud).
  • Sedangkan menurut syariat, niat adalah tujuan atau maksud yang diiringi dengan perbuatan.

Fungsi Niat:

  1. Membedakan antara kebiasaan dengan ibadah.
  2. Membedakan tingkatan ibadah yang satu dengan yang lainnya.

Contoh:

  • Orang yang duduk di masjid; adakalanya ia hanya ingin istirahat menurut kebiasaan, atau adakalanya ia bermaksud untuk ibadah dengan niat i’tikaf.
  • Orang yang shalat dua raka’at adakalanya berniat untuk shalat sunnah fajar, atau adakalanya ia meniatkannya sebagai shalat Subuh.

Syaikh As-Sa’di berkata:

Perbuatan itu tergantung pada niat, baik atau buruk, sempurna atau tidak sempurna. Siapa yang berniat melakukan kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ia mendapatkan pahala dan balasan yang sempurna dari sisi Allah. Siapa yang tidak sempurna niat dan tujuannya, maka berkurang pula pahalanya.

Barang siapa yang niatnya bukan untuk tujuan yang mulia ini (mendekatkan diri kepada Allah), maka pahalanya akan hilang darinya. Ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.

Jika seorang hamba berniat untuk kebajikan, kemudian ia tidak mampu melakukannya, maka niatnya dicatat sebagai satu kebajikan penuh.

“Perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan niat yang baik menjadi faktor kuat untuk meraih rezeki dan Allah mengembangkannya (meluaskannya), serta menjadikan niat yang buruk sebagai faktor kebinasaan dan kehancuran.” (Syaikh As-Sa’di rahimahullah).

Niat juga berlaku dalam perkara mubah dan urusan duniawi. Jika seseorang berniat dengan urusan duniawinya serta kebiasaannya sebagai sarana untuk menegakkan kebenaran, mengerjakan kewajiban, serta diiringi dengan niat yang baik, dalam makan, minum, istirahat dan pekerjaannya, maka usahanya itu berubah menjadi ibadah. Sehingga Allah akan memberikan berkah untuk usahanya serta membukakan pintu kebaikan dan rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka. Barang siapa yang meninggalkan niat yang baik ini karena kebodohan atau sikap meremehkan, maka janganlah ia mencela selain dirinya sendiri.

“Hadits ini menghimpun berbagai kebaikan seluruhnya. Maka, kewajiban setiap mukmin jika ingin selamat dan berguna, ialah memahami makna hadits ini dan mengamalkannya dalam setiap waktu dan keadaan.” (Syaikh As-Sa’di rahimahullah).

Ujub dan Riya` Membatalkan Keikhlasan

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

Ketahuilah bahwa adakalanya keikhlasan itu terjangkit penyakit ujub (bangga diri). Orang yang kagum atau bangga dengan amalnya sendiri, maka amalnya batal. Demikian pula orang yang takabur (sombong).

Riya` ada dua macam: Pertama, beribadah karena ingin dilihat manusia, dan kedua, beribadah untuk Allah sekaligus ingin dilihat oleh manusia. Keduanya membatalkan amal. Pendapat ini dinukil oleh Al-Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah dari sebagian ulama salaf.

Contoh:

Orang yang mengerjakan shalat untuk Allah, namun ia memanjangkan rukun-rukun dan bacaannya karena manusia. Maka pokok shalatnya diterima, namun rukun dan bacaan yang diperbagusnya demi manusia akan tertolak.

Syaikh Izzuddin bin Abdussalam ditanya tentang orang yang shalat lalu memanjangkan shalatnya karena manusia, beliau menjawab:

“Saya harap amalnya tidak batal jika ‘persekutuan’ itu hanya pada sifat amalnya. Namun jika terjadi pada pokok amalan, misalnya ia berniat shalat karena Allah dan manusia, maka shalatnya tidak diterima, karena persekutuan tersebut terletak pada pokok amalan.”

Selain muncul dalam mengerjakan amalan, riya` juga dapat hadir dalam meninggalkan amalan. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya` dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan Anda dari keduanya.”

Imam An-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

  • Siapa yang berniat ibadah tapi meninggalkannya karena khawatir dilihat manusia, maka ia telah berbuat riya`, karena ia meninggalkan amalan karena sebab manusia.
  • Adapun bila ia meninggalkan shalat untuk dikerjakan di tempat sepi, maka ini dianjurkan, kecuali untuk shalat fardhu, zakat, dan lainnya.
  • Atau bila ia adalah seorang alim yang diikuti, maka beribadah terang-terangan adalah lebih utama. Tujuannya untuk memberi teladan dan motivasi kepada orang lain.

Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ أَخۡوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيۡكُمُ الشِّرۡكُ الۡأَصۡغَرُ الرِّيَاءُ ، يَقُوۡلُ اللهُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعۡمَالِـهِمۡ اِذۡهَبُوۡا إِلَى الَّذِينَ كُنۡتُمۡ تُرَاؤُوۡنَ فِيۡ الدُّنۡيَا فَانۡظُرُوۡا هَلۡ تَجِدُوۡنَ عِنۡدَهُمۡ جَزَاءً . – رواه أحمد

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya`. Allah akan berkata kepada mereka di hari kiamat ketika memberikan balasan atas amal-amal manusia: “Pergilah kepada orang-orang yang dulu kau perlihatkan amalmu pada mereka di dunia, lalu lihatlah apakah kalian mendapat balasan (pahala) dari mereka?” (HR. Ahmad: 22528).

Firman Allah ‘Azza wa Jalla:

... لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الۡخٰسِرِينَ ٦٥

“... Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65).

Contoh dalam infak, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوٰلَهُمُ ابۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ اللّٰهِ وَتَثۡبِيتًا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ كَمَثَلِ جَنَّةِۢ بِرَبۡوَةٍ ... ٢٦٥

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi...” (QS. Al-Baqarah [2]: 265).

وَالَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوٰلَهُمۡ رِئَآءَ النَّاسِ وَلَا يُؤۡمِنُونَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالۡيَوۡمِ الۡأٓخِرِۗ ... ٣٨

“Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya` kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian...” (QS. An-Nisa’ [4]: 38).

Contoh dalam jihad fi sabilillah:

Dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang jihad fi sabilillah, karena ada orang yang berperang atas dasar marah atau karena semangatnya. Rasulullah ﷺ menjawab:

مَنۡ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الۡعُلۡيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ .

“Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimah Allah, maka ia berperang di jalan Allah ‘Azza wa Jalla.” (Shahih Al-Bukhari: 123).

Hijrah

Hijrah berarti meninggalkan. Bentuk hijrah ada dua:

Pertama: Hijrah dalam bentuk aqidah.

  • Meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah (QS. Al-Muddatsir [74]: 5). Inilah bentuk hijrah yang paling umum.

Kedua: Hijrah dalam bentuk meninggalkan suatu tempat ke tempat lain.

  • Hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Habasyah di tahun ke-5 kenabian.
  • Hijrahnya Rasul dan para sahabat dari Makkah ke Madinah di tahun ke-13 kenabian. (Lihat pula QS. Al-’Ankabut [29]: 26).

“Barang siapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya.”

Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa orang yang berhijrah tersebut akan mendapatkan apa yang ia niatkan, dan mendapat pahala dari Allah.

"Dan barang siapa yang hijrahnya untuk kesenangan dunia yang ingin diraihnya, atau untuk wanita yang akan dinikahinya, maka yang ia dapatkan dari hijrahnya adalah apa yang ia niatkan."

Nabi ﷺ mengkhususkan tentang wanita setelah menyebutkan “kesenangan dunia” yang sifatnya umum. Hal ini untuk menjelaskan bahwa semuanya adalah tujuan yang rendah dan tidak bermanfaat jika dibandingkan dengan tujuan mencari keridhaan Allah.

Faedah Hadits

  • Hadits ini masuk ke dalam bab ibadah, muamalah, nikah dan dalam semua bab fikih.
  • Imam As-Syafi’i berkata bahwa hadits ini masuk ke dalam 70 bab fikih.
  • Segolongan ulama lain berkata bahwa hadits ini senilai sepertiga Islam.
  • Para ulama menganjurkan agar para penulis kitab mengawali kitabnya dengan hadits ini, sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam Al-Bukhari.

Kesimpulan

  • Syaikh As-Sa’di berkata bahwa poros amal itu adalah niatnya.
  • Niat adalah amalan hati.
  • Hakikat ikhlas adalah meniatkan karena Allah dengan ketaatan.
  • Niat bertujuan untuk membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, atau membedakan tingkatan ibadah yang satu dengan yang lain.
  • Niat yang ikhlas dapat mengubah amalan mubah menjadi ibadah yang mendatangkan berkah.
  • Bentuk hijrah yang umum adalah meninggalkan perbuatan dosa.


Allahu A’lam...


* * *

Referensi:

Sayyid Ibrahim al-Huwaithi, Syarah Arba'in an-Nawawiyah, Darul Haq, cet. XIV (2019)


Posting Komentar

0 Komentar