Hadits kelima
عَنۡ أُمِّ
الۡمُؤۡمِنِيۡنَ أُمِّ عَبۡدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا قَالَتۡ :
قَالَ رَسُوۡلُ الله ﷺ : مَنۡ أَحۡدَثَ فِي أَمۡرِنَا هَذَا مَا لَيۡسَ مِنۡهُ
فَهُوَ رَدٌّ. – رواه البخاري ومسلم
وَفِي رِوَايَةِ الۡمُسۡلِم : مَنۡ عَمِلَ عَمَلًا
لَيۡسَ عَلَيۡهِ أَمۡرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah, Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak." (Shahih Al-Bukhari No. 2697).
Dalam riwayat Muslim: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka ia tertolak." (Shahih Muslim No. 1718).
Imam an-Nawawi berkata:
Di dalam hadits ini berisi dalil bahwa ibadah seperti mandi, wudhu, puasa dan shalat jika dilakukan dengan menyelisihi syariat maka tertolak.
Hadits tersebut juga menjelaskan bahwa orang-orang yang mengada-adakan dalam agama suatu bid’ah yang tidak sejalan dengan syariat, maka ia akan mendapat dosa, amalnya tertolak dan ia mendapatkan ancaman, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
مَنۡ أَحۡدَثَ حَدَثًا أَوۡ آوَى مُحۡدِثًا فَعَلَيۡهِ لَعۡنَةُ اللهِ.
Imam Ibnu Daqiq berkata:
Menurut ahli bahasa, makna اَلرَّدُّ adalah اَلۡمَرۡدُودُ (tertolak), yaitu sesuatu yang batil dan tidak dianggap.
Hadits ini merupakan perkara yang semestinya dihafal, disebarkan dan dipergunakan untuk membatalkan berbagai kemungkaran. Adapun pencabangan ushul yang tidak keluar dari sunnah, maka tidak tercakup dalam penolakan ini, seperti menulis al-Qur`an dalam mushaf, perbedaan madzhab tentang pandangan cermat fuqaha` mujtahidin yang mengembalikan furu’ (cabang) kepada ushul yang notabene adalah sabda Rasulullah ﷺ.
Begitu juga seperti buku-buku yang disusun dalam nahwu, hisab, fara`idh dan ilmu-ilmu lainnya yang merujuk dan dibangun berdasarkan sabda-sabda Rasulullah ﷺ. Maka semua itu tidak masuk dalam kategori bid’ah yang tertolak.
Syaikh as-Sa’di berkata:
Makna hadits ini dapat ditunjukkan dengan manthuq (teks) dan mafhum (konteks).
Menurut manthuq, hadits ini menunjukkan bahwa semua bid’ah yang diada-adakan dalam agama tanpa ada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, baik bid’ah qauliyah kalamiyah seperti paham Jahmiyah, Syi’ah Rafidhah, Mu’tazilah dan semisalnya, maupun bid’ah amaliyah seperti beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasulnya, maka semua itu tertolak dan pelakunya dicela sesuai kadar bid’ah yang dilakukannya. Begitu pula siapa saja yang mengharamkan perkara mubah, atau melakukan ibadah tanpa berdasarkan syariat, maka itu termasuk bid’ah.
Adapun mafhum hadits ini, barang siapa yang beramal sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya, maka amalnya diterima.
Syaikh al-Utsaimin berkata:
Hadits ini menurut ulama adalah timbangan amal-amal lahiriah. Sedangkan hadits "sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung niatnya" adalah timbangan amal-amal batin. Karena amal itu memiliki niat dan bentuk. Niat adalah amalan batin (hati), dan bentuknya ialah amalan zahir (perbuatan dan ucapan).
* * *
البدعة
هي ما أحدث على غير مثال سابق.
"Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh terlebih dahulu."
(Louis Ma’luf, Al-Munjid fil Lughah wal ‘Alam, Beirut: Maktabah Darul Masyriq, 1987, hal. 29).
Menurut Imam as-Syathibi, bid’ah adalah:
ما
اخترع على غير مثال سابق.
"Segala yang diada-adakan dalam bentuk yang tidak ada contohnya."
(Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Kriteria Sunnah dan Bid’ah, Jakarta: Pustaka Rezki Putra, 1999, hal. 34).
Sedangkan menurut syariat, definisi yang paling kuat adalah definisi dari ulama ushul sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam as-Syathibi sebagai berikut:
اَلۡبِدۡعَةُ هِيَ طَرِيقَةٌ فِي
الدِّينِ مُخۡتَرَعَةٌ تُضَاهِي الشَّرِيۡعَةَ يُقۡصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيۡهَا
الۡمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ للهِ سُبۡحَانَه.
"Bid’ah adalah suatu cara dalam beragama yang diciptakan dan menandingi syari’at, dan dengan cara itu dimaksudkan untuk berlebihan dalam ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala."
(Abu Ishaq Ibrahim al-Gharnati, Al-I’tisham, Juz II, Kairo: Maktabah at-Tijariyah, hal. 57).
Jadi, jika suatu perkara baru dalam beragama memiliki dasar syar’i dari al-Qur`an maupun sunnah, maka itu tidak dilarang. Dalam hal ini Imam as-Syafi’i berkata:
كُلُّ
مَا لَهُ مُسۡتَنَدٌ مِنَ الشَّرۡعِ فَلَيۡسَ بِبِدۡعَةٍ وَلَوۡ لَمۡ يَعۡمَلۡ
بِهِ السَّلَفُ.
"Setiap perkara yang memiliki dasar syar’i bukanlah bid’ah, meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf." (HR. Al-Baihaqi dalam Manaqib as-Syafi’i).
Maksud dari perkataan "Setiap bid'ah adalah sesat"
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ
بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Setiap bid’ah adalah sesat." (Shahih Muslim: 867).
Para ulama menjelaskan bahwa makna teks hadits ini menunjukkan pengertian umum yang dikhususkan ( عام مخصوص ).
Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyyah:
وَفِي
الحَدِيثِ " كل بدعة ضلالة " هُوَ مَحۡمُولٌ عَلَى الۡبِدۡعَةِ
الۡمُحَرَّمَةِ لَا غَيۡرِهَا.
"Hadits “setiap bid’ah adalah sesat” adalah untuk bid’ah muharramah, bukan yang lain."
وَقَالَ
الۡمَنَاطِقَةُ : الكُلُّ عَلَى قِسۡمَيۡنِ ، فَالۡأَوَّلُ كُلُّ الۡمَجۡمُوعِ
وَالثَّانِي كُلُّ الۡجَمِيۡعِ أَوۡ كُلٌّ كُلِّيَّةٌ.
"Menurut ahli manthiq, lafaz kullu itu ada dua, yaitu kull majmu’ dan kull jami’ atau kulliyyah."
Kull majmu' adalah lafaz kullu yang menghukumi atas seluruh afrad mudhaf ilaih secara umum, namun yang diharapkan adalah makna khususnya. Contoh: QS. Al-Ahqaf [46] ayat 25:
تُدَمِّرُ كُلَّ
شَيۡءِۢ بِأَمۡرِ رَبِّهَا
"... yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabb-nya..."
Lafaz "segala sesuatu" dalam ayat tersebut tidak dipahami dengan makna umum, melainkan dengan makna khusus, yaitu kehancuran itu hanya menimpa segala sesuatu yang dihancurkan saja. Sedangkan objek lain yang tidak menerima kehancuran, maka tidak hancur.
Contoh lain terdapat dalam QS. Al-Anbiya [21] ayat 30:
... وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ كُلَّ شَيۡءٍ
حَيٍّ ... ٣٠
"... Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air..."
Maksud dari "segala sesuatu yang hidup" tidak bisa diartikan untuk semua makhluk hidup. Karena terbukti ada makhluk hidup di bumi yang tidak tercipta dari air, misalnya bangsa jin yang tercipta dari api (QS. Ar-Rahman [55]: 15).
Contoh lain adalah QS. Al-Kahfi [18] ayat 79:
...
وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٞ يَأۡخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصۡبٗا ٧٩
"... karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua perahu."
Dalam ayat tersebut terdapat kalimat "merampas semua perahu". Tetapi sebenarnya tidak semua perahu dirampas oleh sang raja, namun hanya perahu yang bagus saja, sedangkan perahu yang rusak tidak dirampas.
Begitu juga dengan lafaz hadits "setiap bid’ah adalah sesat" dapat dipahami bahwa:
وَالۡمُرَادُ
بِـهَا كُلُّ بِدۡعَةٍ تَقۡبَلُ الضَّلَالَةَ لَا غَيۡرُ.
"Yang diharapkan adalah setiap bid’ah yang menerima sifat dhalalah (sesat), bukan yang lain."
Sedangkan kull jami’ atau kull kulliyah yaitu lafaz kullu yang menghukumi seluruh afrad mudhaf ilaih dari lafaz kullu tersebut. Contoh: QS. Al-‘Ankabut [29] ayat 57:
كُلُّ نَفۡسٍ
ذَآئِقَةُ الۡمَوۡتِ
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati."
Dari pemahaman segi bahasa, maka dapat disimpulkan bahwa ada bid’ah yang sesat dan ada yang tidak. Maka, bid’ah yang dilarang adalah perkara baru dalam agama yang tidak didasari oleh dalil al-Qur`an dan Sunnah. Sedangkan untuk bid’ah atau perkara baru yang memiliki dasar dalil syar’i, maka itu tidak dilarang.
Bid'ah hasanah di masa Nabi
1. Doa iftitah
اَلۡحَمۡدُ
لِلّٰهِ حَمۡدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ.
لَقَدۡ
رَأَيۡتُ اثۡنَيۡ عَشَرَ مَلَكًا يَبۡتَدِرُونَـهَا أَيُّهُمۡ يَرۡفَعُهَا.
بَيۡنَمَا
نَحۡنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِذۡ قال رَجُلٌ مِنَ الۡقَوۡمِ: اللّٰهُ أَكۡبَرُ كَبِيرًا وَالۡحَمۡدُ لِلّٰهِ كَثِيرًا وَسُبۡحَانَ
اللّٰهِ بُكۡرَةً وَأَصِيلًا
فَقالَ رَسُولُ الله ﷺ مَنۡ الۡقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا قالَ رَجُلٌ مِنَ
الۡقَوۡمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ قالَ عَجِبۡتُ لَـهَا فُتِحَتۡ لَـهَا
أَبۡوَابُ السَّمَاءِ قال ابۡنُ عُمَرَ فَمَا تَرَكۡتُهُنَّ مُنۡذُ سَمِعۡتُ
رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ ذَلِكَ .
2. Doa i’tidal
كُنَّا
يَوۡمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ ﷺ فَلَمَّا رَفَعَ رَأۡسَهُ مِنۡ الرَّكۡعَةِ
قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنۡ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ
الۡحَمۡدُ حَمۡدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انۡصَرَفَ
قَالَ مَنۡ الۡمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيۡتُ بِضۡعَةً وَثَلَاثِينَ
مَلَكًا يَبۡتَدِرُونَـهَا أَيُّهُمۡ يَكۡتُبُهَا أَوَّلُ.
3. Shalat sunnah wudhu
عَنۡ
أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنۡهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لِبِلَالٍ
عِنۡدَ صَلَاةِ الۡفَجۡرِ يَا بِلَالُ حَدِّثۡنِي بِأَرۡجَى عَمَلٍ عَمِلۡتَهُ فِي
الۡإِسۡلَامِ فَإِنِّي سَمِعۡتُ دَفَّ نَعۡلَيۡكَ بَيۡنَ يَدَيَّ فِي الۡجَنَّةِ
قَالَ مَا عَمِلۡتُ عَمَلًا أَرۡجَى عِنۡدِي أَنِّي لَمۡ أَتَطَهَّرۡ طَهُورًا فِي
سَاعَةِ لَيۡلٍ أَوۡ نَـهَارٍ إِلَّا صَلَّيۡتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ
لِي أَنۡ أُصَلِّيَ.
Bid'ah hasanah di masa sahabat
1. Shalat tarawih berjamaah
عَنۡ
عَبۡدِ الرَّحۡمَنِ بۡنِ عَبۡدٍ الۡقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجۡتُ مَعَ عُمَرَ
بۡنِ الۡخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنۡهُ لَيۡلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الۡمَسۡجِدِ
فَإِذَا النَّاسُ أَوۡزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفۡسِهِ
وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهۡطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي
أَرَى لَوۡ جَمَعۡتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمۡثَلَ ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمۡ عَلَى أُبَيِّ بۡنِ كَعۡبٍ ثُمَّ خَرَجۡتُ مَعَهُ لَيۡلَةً أُخۡرَى
وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمۡ قَالَ عُمَرُ نِعۡمَ الۡبِدۡعَةُ
هَذِهِ.
2. Adzan dua kali untuk shalat Jum’at
Contoh bid'ah yang dilarang
عَنۡ
سَعِيدِ بۡنِ الۡمُسَيَّبِ : أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّى بَعۡدَ طُلُوعِ
الۡفَجۡرِ أَكۡثَرَ مِنۡ رَكۡعَتَيۡنِ ، يُكۡثِرُ فِيهَا الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
فَنَهَاهُ ، فَقَالَ : يَا أَبَا مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلَاةِ
؟ قَالَ : لَا وَلَكِنۡ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ.
Kesimpulan
- Perbedaan pemahaman dan praktik dalam fiqh adalah wajar dan tidak bisa dihindari, termasuk perbedaan pemahaman terhadap kalimat “setiap bid’ah adalah sesat”.
- Bid’ah adalah segala perkara baru dalam urusan agama yang diadakan tanpa ada contoh dan perintah dari Rasulullah ﷺ.
- Pemahaman yang benar adalah: tidak semua bid’ah adalah sesat.
- Dilarang untuk saling mencaci suatu kelompok yang berbeda pemahaman terhadap bid’ah. akan tetapi hendaklah saling menghormati demi menjaga persatuan umat Islam.
0 Komentar