Save Palestine

header ads

Dasar-dasar Ilmu Tafsir (Part 2): Metode Tafsir



Sebelumnya silakan baca artikel Part 1.

* * *

Metode Tafsir

Secara umum ada 4 (empat) metode tafsir, yaitu:

1. Metode Tahlili (Analitis)

Tafsir dengan metode tahlili dilakukan dengan cara menafsirkan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf Utsmani. Kajiannya mencakup seluruh aspek, yaitu: asbabun nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan sebagainya.

Langkah-langkah metode tahlili: 

  1. Pembahasan kosa kata, mencakup makna, bahasa, qira’at dan konteks struktur ayat.
  2. Munasabah dan asbabun nuzul hingga pada syarah ayat, baik dengan riwayat dari Nabi, sahabat, tabi’in, maupun pendapat mufassir sendiri dengan latar belakang sosial budayanya.

Munasabah adalah mempelajari ayat-ayat ataupun surat dalam Al-Qur`an yang memiliki hubungan dan persamaan makna satu dengan yang lain, lalu mengompromikan antara ayat yang umum dengan yang khusus dan semisalnya.

Dilihat dari kecenderungan mufassir, metode tahlili terbagi menjadi tujuh:

1. Tafsir bil Ma`tsur; yaitu penafsiran yang bersumber dari ayat lain, riwayat Nabi, sahabat dan tabi’in. Contoh: Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir At-Thabari.

2. Tafsir bir-Ra`yi; yaitu penafsiran berdasarkan penalaran dan ijtihad. Contoh: Tafsir Jalalain, Tafsir Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin Ar-Razi), Tafsir Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta`wil (Al-Baidhawi).

3. Tafsir As-Shufi; yaitu penafsiran yang menitikberatkan pada teori-teori sufistik dengan mencari makna batin. Contoh: Tafsir At-Tutsuri dan Haqaiq At-Tafsir (As-Salami).

4. Tafsir Al-Fiqhi; yaitu tafsir yang menitikberatkan pada aspek hukum fiqih. Contoh: Tafsir Ahkamul Qur`an (Al-Jashash) dan Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur`an (Al-Qurthubi).

5. Tafsir Al-Falsafi; yaitu penafsiran yang dikaitkan dengan masalah filsafat. Contoh: Tafsir Al-Kassyaf (Zamakhsyari).

6. Tafsir Al-‘Ilmi; yaitu penafsiran yang menggunakan teori-teori ilmiah. Contoh: Al-Jawahir fit-Tafsir Al-Qur`an Al-Karim (Thantawi Jauhari).

7. Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i; yaitu penafsiran yang cenderung pada persoalan sosial masyarakat dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir ini lebih banyak mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan yang berlangsung. Contoh: Tafsir Al-Manar (M. Abduh dan Rasyid Ridho).

Kelebihan metode tahlili:

  • Memiliki ruang lingkup yang luas, sehingga dapat memuat berbagai ide dan gagasan.
  • Mengumpulkan seluruh dalil pendukung yang ada, baik ayat lain, hadits dan riwayat dari sahabat, tabi'in, tabi’ut-tabi’in, baik yang shahih maupun yang dha’if

Kekurangan metode tahlili:

  • Petunjuk yang terkandung dalam al-Qur`an menjadi terkesan parsial.
  • Penafsirannya bersifat subjektif.
  • Mudah dimasuki pemikiran Israiliyat.
  • Penjelasan dan uraian yang panjang dan bertele-tele.


2. Metode Ijmali (Global)

Tafsir yang menggunakan metode ijmali menjelaskan makna yang bersifat global dengan tata bahasa yang ringkas dan mudah dipahami. Metode ijmali juga cenderung menghindari uraian yang bertele-tele serta istilah-istilah dalam ilmu-ilmu al-Qur`an yang belum tentu dikenal oleh pembaca dari kalangan awam. Intinya, mufassir yang menggunakan metode ijmali menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan.

Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali: Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim (M. Farid Wajdi).

Kelebihan metode ijmali:

  • Praktis dan ringkas sehingga mudah dipahami
  • Bebas dari penafsiran Israiliyat
  • Akrab dengan bahasa al-Qur`an

Kekurangan metode ijmali:

  • Petunjuk yang terkandung dalam al-Qur`an menjadi terkesan parsial.
  • Tidak ada ruang untuk analisis yang memadai.


3. Metode Muqaran (Komparatif)

Metode muqaran adalah menafsirkan dengan cara membandingkan ayat dengan hadits atau membandingkan mufassir yang satu dengan yang lain. Tujuannya yang lebih dominan adalah untuk menganalisis persamaan dan perbedaan dalam penafsiran, sehingga kurang menjelaskan kandungan ayat al-Qur`an.

Kelebihan metode muqaran:

  • Wawasan lebih luas karena menggunakan banyak sumber.
  • Bersikap toleran terhadap pendapat-pendapat yang kontradiktif.
  • Sangat berguna untuk mengetahui berbagai pendapat terhadap suatu ayat.

Kekurangan metode muqaran:

  • Tidak cocok untuk pemula.
  • Tidak terlalu bisa diandalkan dalam menjawab berbagai persoalan.
  • Lebih banyak menelusuri penafsiran yang sudah ada, sehingga sangat minim dalam memberi penjelasan yang baru.


4. Metode Maudhu’i (Tematis)

Metode maudhu’i menjelaskan ayat dengan mengambil satu tema tertentu, lalu mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut, kemudian dijelaskan satu persatu dan dihubungkan satu sama lain.

Pengkajiannya dilakukan secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait, seperti asbabun nuzul, nasikh-mansukh, kosa kata, dan sebagainya. Semua dijelaskan secara rinci dan tuntas serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-Qur`an, hadits, maupun pemikiran rasional. (Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, cet. IV, hal. 151).

Sehingga metode maudhu’i dapat membentuk gagasan yang utuh dan komprehensif mengenai pandangan al-Qur`an terhadap tema yang dikaji. Dapat dikatakan bahwa metode maudhu’i pada dasarnya adalah menafsirkan ayat dengan ayat.

Penafsiran dengan metode maudhu’i bisa digunakan untuk menetapkan syariat yang cocok untuk setiap waktu dan tempat. (M. Baqir Hakim, Ulumul Quran, terj. Nashirul Haq, dkk, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hlm. 507).


Sejarah Tafsir Maudhu’i 

Pada dasarnya, metode maudhu’i telah ada sejak masa Rasulullah ﷺ. Buktinya dapat dilihat ketika Rasulullah ﷺ menafsirkan bahwa makna kezaliman dalam QS. Al-An'am [6] ayat 82 adalah syirik, sebagaimana dalam QS. Luqman [31] ayat 13.

عَنۡ عَبۡدِ اللّٰهِ رضي الله عنه قَالَ لَمَّا نَزَلَتۡ « الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمۡ يَلۡبِسُوا إِيمَانَهُمۡ بِظُلۡمٍ » شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الۡمُسۡلِمِينَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ ﷺ أَيُّنَا لَا يَظۡلِمُ نَفۡسَهُ قَالَ لَيۡسَ ذَلِكَ إِنَّـمَا هُوَ الشِّرۡكُ أَلَـمۡ تَسۡمَعُوا مَا قَالَ لُقۡمَانُ لِابۡنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ « يَا بُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ إِنَّ الشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٌ » . – رواه البخاري ومسلم

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Ketika turun ayat: ‘Orang-orang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman’ (QS. Al-An’am [6]: 82) kaum muslimin merasa ragu lalu mereka bertanya: “Ya Rasulullah, adakah di antara kami yang tidak pernah berbuat zalim?” Beliau menjawab: “Bukan begitu, sesungguhnya maksud kezaliman adalah syirik. Apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman saat mengajari anaknya: “Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13). (Shahih al-Bukhari: 3429 dan Shahih Muslim: 124).

Ali Khalil dalam komentarnya tentang riwayat ini menegaskan bahwa dengan penafsiran ini Rasulullah ﷺ telah mengajarkan para sahabat bahwa tindakan menghimpun sejumlah ayat dapat memperjelas pokok masalah dan akan melenyapkan keraguan. Menurut beliau, hal tersebut menunjukkan bahwa tafsir maudhu’i telah dikenal sejak zaman Rasulullah ﷺ, akan tetapi belum memiliki karakter metodologis yang mampu berdiri sendiri.

Dalam catatan Abdul Hayy Al-Farmawi, pencetus dari metode tafsir maudhu’i adalah Muhammad Abduh, kemudian ide pokoknya diberikan oleh Mahmud Syaltut, yang kemudian dikenalkan secara konkret oleh Sayyid Ahmad Kamal Al-Kumy, yang ditulis dalam bukunya yang berjudul At-Tafsir Al-Maudhu’i.

Sayyid Al-Kumy adalah seorang dosen di Universitas Al-Azhar, Mesir. Dia menjadikan metode tafsir maudhu’i ini sebagai mata kuliah pada fakultas tersebut.

Selain Al-Farmawi, dalam referensi lain disebutkan bahwa pelopor dari metode tafsir maudhu’i adalah Muhammad Baqir As-Shadr. Dia merupakan tokoh intelektual Syi’ah dalam kehidupan Islam Kontemporer yang juga memberikan tawaran metodologis dalam dunia penafsiran al-Qur`an. (Lilik Ummi Kaltsum, Mendialogkan Realitas Dengan Teks, Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010, hlm. 15).

Dalam sebuah referensi disebutkan bahwa benih-benih tafsir maudhu’i dapat ditemukan pula dalam kitab-kitab tafsir seperti yang ditulis oleh Fakhrur Razi, Al-Qurthubi, dan Ibnu Al-‘Arabi, tetapi tokoh-tokoh itu tidak secara utuh menerapkannya dalam karyanya masing-masing, melainkan beberapa bagian saja. Dari sini terlihat bahwa penafsiran dengan metode maudhu’i sebenarnya sudah dimulai sebelum metode tafsir maudhu’i menjadi sebuah metodologi penafsiran yang berdiri sendiri. Namun setidaknya dapat dikatakan bahwa tafsir maudhu’i bukanlah sesuatu yang baru dalam hal penafsiran. (Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fit-Tafsir Al-Maudhu’i,... hlm. 44)

Sebagai tambahan, terdapat tafsir Ahkamul Qur`an karya Al-Jasshash (w. 370 H) dan Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur`an karya Al-Qurtuby (w. 671 H). Kedua contoh ini adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur`an. (M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir... hlm. 387).

Langkah-langkah dalam menafsirkan menggunakan metode maudhu’i:

  1. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
  2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
  3. Ayat-ayat tersebut kemudian disusun berdasarkan kronologis urutan turunnya ayat dan mempertimbangkan asbabun nuzul serta nasikh dan mansukh
  4. Memahami keterkaitan ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
  5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
  6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits dan riwayat yang relevan.
  7. Melakukan munasabah, yaitu mempelajari ayat-ayat yang ditafsirkan secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat tersebut yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus, mutlak dan muqayyad [terikat]), atau yang pada zahirnya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan ataupun pemaksaan dalam penafsiran.
  8. Menjelaskan keterkaitan ayat-ayat tersebut serta memberi komentar dari berbagai aspek. Tentu saja tetap menggunakan pertimbangan analisis dan ilmu yang valid sehingga membentuk kesatuan konsep dan memungkinkan untuk menarik kesimpulan.

Kelebihan metode maudhu’i:

  • Praktis dan sistematis dengan pembahasan yang fokus dan spesifik. 
  • Bersifat dinamis, yaitu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.
  • Mengutamakan keutuhan pemahaman terhadap suatu ayat.

Kekurangan metode maudhu’i

  • Memenggal ayat yang mengandung persoalan yang berbeda. Baik di ayat yang sama, maupun terhadap ayat yang masih satu rangkaian.
  • Pemahaman terhadap suatu ayat menjadi terbatas.


Allahu A'lam...

* * *

Part 3: Jangan Asal Menafsirkan

Posting Komentar

0 Komentar